KATAKITA – Apabila kita melihat asal mula sejarah terbentuknya teori perubahan sosial, maka teori ini mulai terbentuk pertama kali pada tahun 1957. Teori ini diperkenalkan oleh John Lewis Gillin dan John Philip Gillin.
Adapun pemahaman secara definisinya adalah suatu variasi dari cara hidup yang diterima oleh masyarakat, sebagai akibat dari adanya perubahan kondisi geografis, perubahan kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya difusi dan penemuan hal baru dalam kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya terdapat empat tokoh lain yang pendefinisianya berbeda, yaitu, definisi menurut Mac Iver, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial (sosial relation) atau perubahan terhadap keseimbangan (ekuilibrium) hubungan sosial.
Kemudian yang kedua adalah definisi dari Kinsley Davis, yaitu perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan.
Definisi ketiga adalah dari Rifhi Siddiq, yaitu peralihan yang terjadi di dalam lembaga kemasyarakatan, yang wujud implikasinya dapat dikenal pada susunan sosial, hal ini terjadi dalam tahap penemuan, penyebaran, dan penyesuaian kembali perubahan yang mengharuskan masyarakat mentaati ketentuan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga yang berwenang, seperti contohnya penarikan pajak yang sifatnya wajib dibayar oleh masyarakat.
Definsi dari tokoh yang keempat adalah dari Emile Durkheim, yaitu perubahan sosial sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis, dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional mekanistik beralih kepada kondisi masyarakat modern yang dikuatkan oleh rasa solidaritas.
Kemudian apabila dilihat dari jenisnya, teori perubahan sosial ini dibedakan menjadi empat bagian, yang pertama adalah teori evolusi, teori ini beranggapan bahwa perubahan sosial terjadi karena perubahan cara pengorganisasian masyarakat, sistem kerja, perkembangan sosial dan sistem kerja.
Untuk jenis yang kedua adalah teori konflik, teori ini memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
Selanjutnya untuk jenis yang ketiga adalah teori siklus, teori ini beranggapan bahwa perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tidak direncanakan atau diarahkan, tetapi umumnya membuat pola yang berulang, yang terakhir adalah yang keempat adalah Jenis teori fungsionalis, teori ini beranggapan bahwa perubahan sosial diakibatkan adanya ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial yang berlaku pada masa tertentu yang dapat memengaruhi kehidupan pribadi mereka.
Di dalam implementasinya, terdapat faktor yang dapat menjadi pemicu proses perubahan sosial, yaitu faktor Internal, meliputi penemuan baru, konflik sosial, pemberontakan, dan dinamika penduduk, satu lagi adalah faktor eksternal, yaitu meliputi bencana alam, dan peperangan.
Berikut nya adalah dilihat dari perspektifnya, perubahan sosial ini terdapat sembilan jenis, yang pertama adalah dimensi dan bentuknya, yang kedua dan ketiga adalah hubungannya dengan perubahan kebudayaaan, dan evolusi adapun yang keempat dan kelima adalah jenis teori yang sudah dijelaskan di atas, yaitu evolusi, konflik, siklus dan fungsionalis.
Baca Juga :
- KPU Kabupaten Serang Tetapkan 1.225.871 DPT Pilkada 2024
- Jelang Pengundian Nomor Urut, KPU Kabupaten Serang Gelar Rakor
- Tingkatkan Kualitas SDM, KPID Banten Gelar Workshop
- Kebakaran Hebat di Malingping, Hanguskan Ponpes dan Rumah
- Datang ke Pandeglang, Kaesang Kenalkan Dewi-Iing ke Warga Koroncong
Untuk perubahan sistem budaya yang keenam dan ketujuh adalah strategi komunikasi pembangunan, desiminasi, difusi dan inovasi untuk yang kedelapan adalah teori rekayasa sosial dan tantangan dan respon antara manusia dan alam sekitarnya.
Untuk yang terakhir kesembilan adalah pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan oleh sebagian kecil pemilik kebudayaan.
Selanjutnya apabila kita melihat konsep dan perspektifnya, dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu perspektif klasik yang merupakan proses bertahap, proses hegemonisasi, eropanisasi atau amerikaisasi, hal ini dalam pembentukannya membutuhkan waktu yang panjang, yang kedua adalah perspektif ketergantungan, yang diakibatkan oleh kondisi luar, misalkan masalah ekonomi, kemudian polarisasi ekonomi baik sektoral ataupun global, yang ketiga adalah perspektif modernisasi, yang terkait dengan globalisasi makro, dan politik dunia.
Berikutnya adalah kerangkanya yang mendasari perubahan sosial, meliputi enam kerangka, yang pertama adalah keputusan pribadi, yang kedua adalah penyelenggaraan perayaan atau peristiwa-peristiwa tertentu. Ketiga adalah akulturasi, di mana suatu kelompok dihadapkan dengan kebudayaan asing.
Kebudayaan tersebut lambat laun akan diterima dan disesuaikan dalam kebudayaan masyarakat sendiri, tanpa menghilangkan sifat khas kepribadian di dalam kebudayaannya sendiri, yang keempat adalah asimilasi, yaitu kebudayaan yang berbeda-beda saling berinteraksi, untuk yang kelima adalah adanya pergaruh-pengaruh eksternal dan yang keenam adalah terwujudnya tujuan bersama.
Dalam tahapannya perubahan sosial di bedakan menjadi dua jenis, yaitu, inversi yang merupakan proses penciptaan ide-ide baru, dan yang kedua adalah difusi, yaitu ide-ide baru tadi di komunikasikan ke dalam sistem sosial kemasyarakatan.
Dalam implementasinya perubahan sosial akan menjadi hal yang baru bagi masyarakat, tentunya hal ini tidak akan mudah untuk langsung bisa di terima dengan baik, ada hambatan psikologis, sosial dan perilaku atau sosial behaviour change communication (SBCC).
Hambatan tadi di antaranya meninggalkan kebiasaan lama, mengubah norma sosial, biasanya perubahan itu berbeda sekali dengan kebiasaan awal yang dilakukan bertahun tahun oleh masyarakat sebelumnya, oleh karena nya perlu langkah sinkronisasi, penyesuaian aklimatisasi dalam penerapannya.
Para peneliti justru menemukan bahwa waktunya untuk membiaskan hal baru ternyata cukup bervariasi, yaitu antara 18 hingga 254 hari, hal ini bergantung kepada kedisiplinan latihan pembiasaannya pada masing-masing individu, walaupun rata-ratanya memerlukan waktu 66 hari.
Dalam praktiknya tentu harus berbarengan dilakukan penyuluhan, edukasi, memberikan pengetahuan, pengenalan dan penyadaran secara berkala sesuai dengan jenis lapisan masyarakatnya dengan cara dan metode yang tepat dan terprogram.
Pada akhirnya nanti masyarakat akan merasakan bahwa hal baru yang mereka terima akan lebih baik dan logis untuk dijalankan dan dibiasakan, bila dilakukan dengan baik dan dalam waktu yang tepat, tentunya akan terbangun kepercayaan publik kepada pemberi perubahan (Social Change Agent) atau komunikator.
Media yang diperlukan untuk implementasi ini adalah bisa melalui tatap muka, tatap maya, penggunaan alat bantu berupa media elektronik, dengan meilbatkan tokoh masyarakat atau mengundang sosok karismatik yang menjadi role model di komunitas masyarakat setempat.
Untuk mengukur tingkat keberhasilan atau success-rate program perubahan sosialnya, diperlukan juga utilisasi metode statistik yang sesuai, kondisi awalnya di identifikasi, dibuat permodelan pengumpulan datanya yang cukup dengan kwantifikasi.
Pada akhirnya variabel-variabel penceriminan masyarakatnya akan bisa di kuantifisir, penggunaan alat bantu pengolah data, baik itu SPSS atau software pengolah angka untuk mendapatkan hipotesis signifikansi simpulan yang diterima ataupun ditolak.
Hasilnya nanti bisa menjadi bahan yang berguna bagi para stake-holder pemangku kepentingan dan otoritas yang berwenang, untuk mencari pendekatan yang paling sesuai, agar data mentah yang didapatkan sesuai dengan harapan dengan success-rate yang tinggi (Rekayasa Sosial).
Penulis : Idris Kusumanegara.
Mahasiswa Paska Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa : Ilmu Komunikasi.