Pada buku Bertens, K., Johanis Ohoitimur, dan Mikhael Dua. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2018. xii + 427 halaman.
Filsafat itu sulit, membosankan, gelap, rumit, berbahaya, bahkan menyesatkan! Pekerjaannya hanya bertanya, mencurigai segala sesuatu, bahkan mengombang-ambingkan segala kepercayaan yang telah diyakini sebagai kebenaran.
Begitulah pernyataan yang seringkali dilontarkan terhadap filsafat. Tidak mengherankan jika keberadaan filsafat, baik dalam kalangan umum dan juga akademik seringkali termarginalisasikan. Namun, apakah benar jika filsafat semenakutkan itu? Tentu tidak! Filsafat tetap dibutuhkan baik untuk perkembangan ilmu, pembentukan pikiran, bahkan sampai kepada taraf kehidupan itu sendiri.
Secara etimologi, filsafat berasal dari kata Yunani yaitu philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Mereka yang mencintai kebijaksanaan adalah philosophos. Mencintai kebijaksanaan berarti upaya terus-menerus untuk mencari, memahami tanpa berhenti pada satu titik tertentu.
Seseorang yang belajar filsafat artinya ia selalu membentuk dirinya untuk mencintai kebijaksanaan tanpa mengklaim dirinya sebagai orang yang bijaksana. Ia akan selalu berada dalam tingkat kerendahan hati dan tahu diri terhadap realitas yang dihadapinya. Layaknya apa yang dikatakan oleh Platon bahwa yang tidak perlu berfilsafat hanyalah para dewa-dewi, sebab mereka sudah bijaksana.
Jadi, aktivitas berfilsafat tentu tidak dibutuhkan oleh mereka yang sudah sempurna. Namun, tidak berarti manusia yang tidak belajar filsafat adalah orang yang bijaksana. Justru mereka yang tidak belajar filsafat adalah orang-orang bodoh karena tidak mau tahu apa gunanya memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan.
Para filsuf memulai filsafat dengan mempertanyakan hakikat realitas seperti air, udara, api, dan lainnya. Mereka saling berargumentasi dan mengkritisi para pendahulunya dengan bebas.
Artinya, aktivitas utama berfilsafat adalah adanya rasa heran dan hendak bertanya pada diri sendiri atas apa yang ditemuinya. Setelah itu, mereka akan mencari dan mendapatkan pemahaman yang di kemudian hari akan digunakan untuk mengkritisi para pendahulunya.
Perjalanan seperti itu adalah hal yang wajar dalam dunia filsafat dan memang sudah selayaknya seperti itu. Maka, tidak heran jika setiap subjek yang mempelajari filsafat akan dibawa kepada dunia yang begitu luas dan kaya. Selayaknya berpetualang, maka ia akan menemui berbagai macam sejarah, tragedi, keindahan, keluhuran, dan seluruh nilai lain yang akan ditemuinya bersatu padu dalam dunia filsafat.
Terlepas dari beragamnya dunia filsafat, para filsuf juga berhasil membentuk sejarah pemikiran yang begitu cemerlang. Walaupun sudah ada dari beribu-ribu tahun lalu, hingga saat ini setiap ide mereka tetap didiskusikan, dikritisi, dan dipahami secara segar oleh para penerusnya. Artinya, belajar filsafat merupakan gerak terus-menerus yang tidak pernah lepas dari hasrat manusia untuk memahami setiap kehidupannya, baik pemahaman yang menjurus kepada individu, komunitas, maupun kepada tatanan dunia yang begitu luas untuk dipahami oleh otak manusia yang begitu kecil.
Lebih dari itu, filsafat tidak hanya dibutuhkan dalam rangka memperlengkapi kemantapan ilmu seseorang. Ia juga dibutuhkan demi melatih pikiran yang jernih dan tidak mudah terindoktrinasi terhadap pernyataan-pernyataan yang menyesatkan atau dapat disebut sebagai kepercayaan yang di-iya-kan begitu saja tanpa mau berusaha untuk mengkritisi dan memahaminya dengan baik, sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini yang hidup dalam budaya teknologi.
Masyarakat begitu nyaman dengan situasi yang serba praktis, tidak mendalam, dan cenderung ingin cepat selesai. Kedalaman menjadi sesuatu yang tidak diinginkan, berpikir merupakan aktivitas yang membuang-buang waktu saja dan tidak menguntungkan. Berpikir yang dimaksud di sini adalah aktivitas merenung dan mengambil bagian dalam keheningan batin demi mendapatkan pikiran yang jernih.
Masyarakat hidup dalam bisingnya dunia dan begitu sibuk dengan “apa yang dikerjakannya”, sehingga tidak memiliki waktu untuk merenung. Hal itu disebabkan oleh masyarakat modern lebih meminati kegiatan yang menguntungkan dan bermanfaat secara dangkal atau yang sifatnya sementara saja.
Bagi masyarakat modern saat ini, belajar filsafat mungkin tidak begitu penting sebab begitu rumit dan membosankan. Dunia teknologi lebih menyenangkan dan luas, bahkan melebihi filsafat itu sendiri. Tidak perlu lagi untuk berlelah diri berpikir secara mendalam, sebab segala sesuatunya sudah tersedia di dunia maya.
Mereka hanya bermodalkan smartphone, jaringan, dan mesin pencari yang akan menjawab setiap pertanyaan yang memusingkan itu. Tentu itu berbeda dengan mereka yang mau belajar filsafat dengan secara serius tetapi menikmati setiap perjalanan yang dilaluinya. Karena belajar filsafat artinya mau membuka diri terhadap realitas yang begitu luas dan berusaha untuk memahaminya secara jernih serta mendalam.
Seperti yang dikemukakan dalam buku Pengantar Filsafat karya K. Bertens, Johanis Ohoitimur, dan Mikhael Dua, filsafat memiliki Indonesian Journal of Theology 112 tugas untuk membentuk manusia yang kritis, analitis, dan holistik. Kritis yang dimaksudkan yaitu bahwa ia tahu apa yang mendasar dan tidak mendasar dari sesuatu yang hendak dipahaminya. Analitis dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengurai unsur-unsur atas apa yang dikaji. Holistik menuju kepada memahami dengan cara pandang yang luas dan menyeluruh.
Buku ini sangat baik untuk dipelajari, terutama kepada mereka yang baru pertama kali memasuki dunia filsafat. Terdiri dari 13 bab yang diawali dengan pembahasan filsafat dalam wawasan ilmu humaniora dan diakhiri dengan filsafat politik. Walaupun contributor yang begitu mendominasi dalam buku ini adalah K. Bertens dengan delapan topik dibandingkan dengan kedua penulis lainnya, setidaknya sebagai suatu pengantar buku ini menyajikan uraian yang sangat baik untuk setiap topiknya.
Secara substansi ia tidak memiliki uraian yang begitu sistematis layaknya buku filsafat secara umum, di mana setiap pembahasan harus saling terkait antara satu dengan lainnya. Terlepas dari itu, buku ini menyajikan pertanyaan-pertanyaan di setiap akhir babnya.
Menurut saya, itu upaya yang sangat baik dalam mempelajari filsafat. Karena dengan pertanyaan-pertanyaan di setiap akhir babnya, para pembaca diminta untuk mengingat kembali atas apa yang sudah dibaca, mengkritisinya, dan menguraikan kembali secara mandiri pemahaman-pemahaman yang ia dapatkan.
Topik yang tidak kalah menariknya adalah pembahasan terhadap eksistensi ilmu humaniora dalam dunia pendidikan tinggi. Artinya buku ini diawali dengan keresahan dan kepeduliaan para penulis terhadap relevansi ilmu humaniora dalam dunia pendidikan. K. Bertens menjelaskan dengan baik mulai dari lahirnya ilmu humaniora sebagai warisan Renaisans, pengklasifikasiannya, hingga kepada pentingnya ilmu humaniora dalam pendidikan dewasa ini.
Artinya, buku ini tidak membatasi diri hanya pada pembahasan ide-ide para filsuf, tetapi juga mengambil bagian dalam permasalahan yang nyata dalam dunia pendidikan yang terjadi saat ini, terlebih di Indonesia. Hal ini penting mengingat dunia pendidikan tinggi yang begitu diwarnai dengan semangat birokrasi, di mana pendidikan hanya dibatasi pada pemenuhan kebutuhan pasar namun enggan untuk mendidik para subjek didiknya untuk berpikir secara kritis dan berwawasan luas.
Menurut saya, buku ini sangat memadai dalam memberikan gambaran secara umum untuk setiap pemikiran para filsuf. Tentu ada hal-hal yang perlu diperhatikan kembali dalam membaca buku filsafat. Misalnya, apakah belajar filsafat selalu identik dengan filsafat Barat? Sebab jarang sekali filsafat Timur menjadi sorotan dalam buku-buku filsafat pada umumnya, bahkan seringkali termarginalisasikan.
Mengapa para penulis dalam buku ini tidak membahas filsafat Timur juga? Mengingat judulnya adalah “Pengantar Filsafat” berarti buku ini seharusnya juga memasukkan pembahasan yang terkait dengan filsafat Timur. Artinya, jika ingin konsisten terhadap filsafat, seharusnya para penulis juga mengikutsertakan kekayaan filsafat Timur dalam penulisan buku ini atau lebih jelasnya berikan saja judul buku ini menjadi “Pengantar Filsafat Barat”.
Hal ini bukan bermaksud untuk memperlihatkan sarkasme maupun pemisahan antara filsafat Barat dan Timur. Namun, di sini terlihat bahwa dunia filsafat nyatanya begitu luas dan tidak selalu didominasi oleh filsafat Barat. Dengan menambahkan topik yang terkait dengan filsafat Timur, buku ini tentu akan semakin memperkaya dan memperluas wawasan para pembaca terhadap alam pikiran filsafat dengan baik. Terlepas dari itu, buku ini telah memberikan kontribusi yang baik terhadap literatur filsafat di Indonesia.
Firman Siregar Mahasiswa Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga