Oleh: Ade Taufik H.
Bagi beberapa Kalangan mungkin kehidupan jurnalistik menjadi kehidupan yang betul-betul menjanjikan, namun di samping itu berbagai persoalan yang dihadapi para jurnalis adalah membendung arus sosial media yang tidak mengarah.
Selaku bagian dari kaum jurnalistik dan kuli tinta, sudah menjadi keniscayaan untuk menjadikan profesi wartawan sebagai profesi yang betul-betul professional secara integritas.
Pada berbaga situasi dan kondisi sosial yang ada, setiap informasi yang berkembang haruslah disantap mentah-mentah, bahkan masyarakat tidak jarang menjadikan seorang wartawan sebagai sumber informasi yang bisa dikategorikan sebagai orang yang akurat.
Lebih jauh dari sisi keprofesian, jurnalistik menjadi pertimbangan suatu nasib bahkan harkat derajat seseorang di mata public, karena identitas profesi jurnalistik seperti dua mata pisau yang bisa digunakan untuk menolong dan melakukan kejahatan sekalipun.
Tugas seorang jurnalis saat ini, bukan hanya sekedar menjalankan tugas-tugas peliputan, bahkan terkadang seorang jurnalis dituntut untuk menjadi serang konten creator, sebab era digitalisasi ini menjadikan kaidah-kaidah jurnalistik dan kemajuan teknologi harus betul-betul diracik sedemikian rupa agar bisa menarik pembaca.
Para senior jurnalistik, barangkali sedikit kaku terhadap adaptasi kemajuan teknologi yang betul-betul menuntut untuk berlari cepat, harus melek terhadap semua aplikasi yang tersedia di berbagai platform. Sebab, dengan demikian jurnalis harus memiliki jiwa kompetetif yang mumpuni untuk merancang suatu tulisan.
Salah satu kaidah penulisan berita yan popular yaitu 5W=1H, artinya dalam menulis seorang jurnalis itu harus mencantukan unsur-unsur tersebut agar menjadi berita yang lengkap. Namun, seiring perkembangan waktu dan kemajuan teknologi, warganet ata yang kerap disebut netizen memahami kaidah tersebut, oleh karenanya seorang jurnalis siap tidak siap harus bersaing dengan warganet tersebut dalam menyajikan pemberitaan.
Hal yang paling parah, kaidah jurnalistik yang sudah diangap menjadi pakem penulisan berita menjadi terkikis dengan sendirinya oleh kemajuan teknologi, bahkan dari struktur yang telah ditetapkan dalam penulisan berita serius (hardnews-red) sekalipun tetap mengesampingkan kaidah penulisan berita.
Apakah ini menjadi fenomena open mind yang bernilai positif atau negative, tergantung orang yang mengejawantahkan peristiwa ini, tingkat intensitas seseorang kekinian dalam menggunakan telepon seluler sangat tinggi, namu secara kompetensi penulisan artikel atau postingan di sosial media tidak dibekali kompetensi terlebih dahulu, meski demikian, dunia konten creator tidak memberlakukan itu.
Jika dilihat dari sisi kekuatan, antara netizen dan seorang jurnalis secara kemampuan menyerap informasi hampir beda tipis, bahkan sekulit bawang. Namun jika kita kembalikan secara komptensi tentunya kekuatan seorang jurnalis tidak bisa diragukan, perlu kita analisis tangka kekuatan netizen di sosial media, pastinya ada pengaruh yang signifikan pula.
Setiap mengakui era digital dan kemajuan teknologi memiliki dampak yang positif, dengan catatan kita perlu memilah dan memilih apakah informasi yang telah didapatkan itu sudah layak untuk dipublikasikan atau tidak.
Terkikisnya tulisan tajam dalam mengkritik suatu birokrasi pemerintahan, barangkali itu menjadi pelemahan kekuatan dalam logika berfikir jurnalis, namun saat ini kebutuhan sebuah perusahaan pers sudah terbiaskan leh kepentingan bisnis, kepentingan politis, kepentingan klik bet sealipun. Kenapa itu terjadi, karena persoalan kepentingan sudah barang tentu lebih menjanjikan bukan.
Idealnya jurnalis yang berkompeten memiliki jam terbang yang cukup, sudah bertemu dengan berbagai karakter seseorang, sudah piawai dalam lobi-lobi, sudah memiliki power yang jelas, terlebih memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang heterogen. Beberapa waktu lalu, profesi seorang jurnalis betul-betul disegani karena integritasnya, namun saat ini yang disegani adalah orang yang memiliki followers akun sosmed yang banyak.
Itulah arus yang saat ini sedang terjadi, yang lebih parah adalah mendiskreditkan (menganggap rendah-red) profesi jurnalis, karena hanya dianggap seperti seekor anjing yang menggonggong tatkala lapar dan diam tatkala sudah kenyang. Istilah itu muncul saat beberapa pihak yang pernah merasa terdesak oleh perilaku yang jurnalistik, dan merasa rishi serta merasa berisik mendengarkan berita yang tidak disukainya.
Teringat beberapa istilah dalam dunia jurnalis, ‘kekuatan satu peluru itu bisa membunuh satu orang, namun kekuatan satu tulisan bisa membunuh tujuh turunan,’ istilah itu mungki hanya dianggap pembelaan, namun pada faktanya arus pulik bisa mengembalikan suatu citra, baik secara kelembagaan maupun perorangan dengan istilah penyeimbang, hak jawab, cover both side.
Di beberapa lokasi wartawan dianggap profesi yang menjanjikan, karena bisa mengakses segala sector dan bidang, artinya kebebasan pers atau kemerdekaannya tersebut tetap dalam koridor kode etik jurnalistik.
Saat ini perkembangan kebutuhan untuk membaca informasi sudah sampai di seluruh tangan yang memiliki akses telepon pintar (smarphone-red), namun tetap harus menyaring informasi apabila hendak akan dipublikasikan.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bagaimana caranya seorang jurnalis harus bisa memiliki daya tawar yang tinggi, membuktikan integritasnya, mengaplikasikan hasil kompetensinya, juga tetap memperhatikan kaidah dan pakem yang telah dipelajarinya.